Saya memiliki seorang teman yang terbiasa menjadikan istrinya
sebagai bahan lelucon. “Bawel banget, lu! Kayak bini gue!” Katanya suatu
hari. Di lain kesempatan, dengan bangga dia menghina istrinya sendiri
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu, katanya, “Gendut-gendut
gitu juga bini gue! Gue tidur nggak perlu nyari kasur!”
Ungkapan-ungkapan semacam itu biasa terdengar di keseharian. Para
suami, atau mungkin juga istri, dengan enteng menyepelekan pasangan
masing-masing di hadapan orang lain. Menyebutnya ‘kampungan’, ‘matre’,
‘letoy’, ‘lemot’ atau sebutan-sebutan lain yang bernada merendahkan.
Saya pikir ini bukan tentang selera humor. Ini tentang sebuah cara
pandang.
Suatu hari saya pernah menulis sebuah status di
Facebook, menceritakan teman saya lainnya yang mengejek selera fashion
istrinya sendiri. “Selera istriku payah banget!” Umpatnya. Tak cukup
sampai di situ, teman saya masih memperpanjang keluhannya, seolah
memberi pembenaran, “Maklum, orang kampung!” Ujarnya.
Apa yang
aneh dari peristiwa itu? Tampaknya memang sederhana saja, sebagaimana ia
lazim terjadi di keseharian. Tetapi kadang-kadang kita gagal mengambil
‘sudut pandang’ mengapa pernyataan-pernyataan semacam itu tidak
seharusnya diucapkan seorang suami untuk istrinya—begitu juga
sebaliknya. Tentu saja ini soal cara pandang. Ihwal ‘selera yang buruk’,
memberitahu kita sesuatu yang penting: Suami yang menjelekkan selera
istrinya lupa bahwa ia juga bagian dari selera sang istri. Begitu juga
sebaliknya, istri yang menertawakan selera suaminya sebenarnya sedang
menertawakan dirinya sendiri, karena ia juga bagian dari ‘selera
suaminya yang buruk’ itu. Masuk akal, kan?
Sampai di sini,
menghargai pasangan adalah juga soal menghargai diri sendiri. Maka
memuliakan dan membahagiakan pasangan juga sebenarnya merupakan upaya
untuk memantaskan diri menjadi seseorang yang mulia dan bahagia.
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187 memberi amsal menarik soal kedudukan
suami di hadapan istrinya serta kedudukan istri di hadapan suaminya,
“…Istri-istrimu adalah pakaian bagi kamu sekalian, dan kalian adalah
pakaian bagi mereka.”
Banyak dari kita memahami ‘pakaian’ sebatas
penutup tubuh, kain yang membungkus aurat dan melindungi kulit dari
panas dan dingin. Tetapi jarang sekali yang melihat ‘pakaian’ suami bagi
istrinya, juga sebaliknya, sebagai lambang harga diri dan kemuliaan.
Saya ingat suatu ketika Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan pakaian
sebagai ‘akhlak’ atau ‘kemuliaan’ manusia yang membedakannya dari
binatang. Kata Cak Nun, “Kalau engkau tidak percaya, berdirilah di depan
pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau [akan] kehilangan segala
macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama
manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem
nilai.”
Jika istri adalah pakaian suaminya dan suami adalah
pakaian istrinya, maka masing-masing mereka adalah lambang kemuliaan
bagi yang lainnya. Akhlak suami tercermin dari kualitas individu seorang
istri dan kemuliaan seorang istri tercermin dari perilaku, kata-kata,
dan integritas suaminya. Pada titik ini, kita jadi paham, kan, mengapa
istri perlu berbakti pada suami dan suami perlu memuliakan istrinya?
Sebab suami yang merendahkan istrinya adalah laki-laki yang
mengoyak-ngoyak pakaiannya sendiri… dan istri yang tak setia dan tak
berbakti pada suaminya adalah perempuan yang menelanjangi kemuliaan
sekaligus harga dirinya sendiri.
Kembali pada kasus teman saya.
Lantas, apakah mengolok-olok istri di hadapan orang lain adalah perkara
sepele dan urusan ‘selera humor’ belaka? Seorang laki-laki yang
merobek-robek pakaiannya sendiri di depan umum, membiarkan dirinya
telanjang dan kehilangan harga diri, hanya patut dikasihani!
Jadi, ini memang soal cara pandang. Sungguh aneh jika para suami ingin
dipandang terhormat di hadapan teman-teman dan koleganya, tetapi tak
pernah merawat dan menghias ‘pakaian’-nya. Betapa mengherankan jika para
istri ingin tampil cantik dihadapan siapa saja, tetapi pada saat
bersamaan tidak memedulikan ‘pakaian’ mereka sendiri.
Akhirnya,
sangat masuk akal jika di bagian lain Al-Quran mengatakan bahwa
laki-laki yang baik diperuntukkan untuk perempuan yang baik dan
perempuan terbaik hanya dipersiapkan untuk laki-laki terbaik. Mereka
akan saling merawat ‘pakaian’ masing-masing dengan berakhlak baik pada
satu sama lainnya. Selayaknya pakaian yang menunjukkan kemuliaan, ia
bukan sekadar melekat pada kulit, tetapi melindungi dari cuaca buruk,
menutupi aib pada tubuh, menghiasi diri di hadapan tatap mata dunia.
Barangkali inilah saatnya memuliakan pasangan kita, seperti diri yang
setiap hari bersolek menjelang pesta… mengenakan pakaian terbaik yang
kita punya, berjalan dengan hati-hati menghindari apapun saja yang bisa
mengotorinya, menjaganya, merawatnya, membanggakannya. Mulailah dari
yang paling sederhana, tersenyumlah pada istri atau suami Anda, sekarang
atau sebentar lagi… tatap mereka dengan rasa bangga, sesekali puji
mereka. Jika mereka sedang tak di dekat Anda, ambil kamera dan
berfotolah. Di antara hal-hal istimewa dalam rumah tangga adalah saat
seorang istri tersenyum tulus di hadapan suaminya.
Selamat mengenakan pakaian kemuliaan Anda masing-masing